Film Indonesia Tumbuh di Atas Jargon Tanpa Strategi Kebudayaan

SINEAS Garin Nugroho melihat film Indonesia selalu ditumbuhkan oleh jargon, hanya seputar kata-kata, di atas impian. Inilah salah satu hal yang membuat para pelaku film Indonesia hidup mati dari film. Pekerja film hampir tidak pernah “terbela” oleh Negara. Perlu adanya strategi kebudayaan yang jelas dan dijalankan dengan kerjasama yang menyeluruh.

“Film Indonesia adalah tuan rumah di negeri sendiri. Itu Jargon. Seharusnya ada strategi kebudayaan,” ujar Garin pada Webinar Penerapan Keahlian Penyiaran dalam Kreasi Film Kreatif oleh Sekolah Tinggi Multi Media, Selasa 14 Juli 2020.  

Garin melihat kemajuan kebudayaan khususnya film tumbuh berdasarkan kebudayaan populer, budaya menonton, teknologi, pertumbuhan nilai-nilai baru identitas, strategi budaya untuk bereaksi menghadapi zaman baru. Dia mencontohkan apa yang dilakukan Korea dalam strategi kebudayaan untuk memajukan film-film populer. Bank Korea bekerjasama dengan dewan film bisa memberikan pinjaman lunak atas prestasi film-film local. Kemudahan itu misalnya saja atas raihan penonton. Semakin banyak film yang ditonton, maka ada perhitungan pinjaman yang semakin ringan.

Anggota Dewan Penyantun STMM tersebut membandingkan dengan Perancis yang mengakui bahwa mereka kalah dengan Hollywood. Pengakuan itu justru mendorong perumusan strategi yang lebih nyata untuk mengejar ketertinggalan. Perancis akhirnya  memanfaatkan pajak tontonan  produk Hollywood untuk mensubsidi film-film mereka termasuk film seni.  

“Kemajuan tidak dibangun atas mimpi, atau keinginan tapi fakta. Kita sering merasa menjadi bangsa besar. Merasa saja ya,” imbuhnya.

Sutradara yang meraih berbagai penghargaan internasional ini juga menegaskan bahwa film juga berada di ranah-ranah yang berbeda, mulai dari budaya pouler, hingga film sebagai ekspresi seni.  Ada hubungan yang saling terkait antara film dan budaya populer, kebudayaan alternatif, dan kebudayaan heritage (sejarah). Bangsa yang beradab pasti memperhatikan tiga hal ini. “Apa gunanya punya sekolah yang bagus, tetapi tidak ada ruang public? Semua harus membayar? Kebudayaan alternative (seni) harus selalu dipelihara karena mereka menawarkan nilai-nilai, mengajak kritis,” jelasnya.

                Paris misalnya bisa menjadi contoh, selarasnya pertumbuhan tiga aspek itu. Sirkus sebagai budaya populer tumbuh, festival film berkualitas jalan. Oleh karena itu di Negara-negara maju justru pada masa-masa kritis menghasilkan event-event yang berkualitas. “Bukannya malah ya sudah kita lagi krisis kok, ngapain juga mikirin seni,” imbuhnya.

                Webinar ini juga menghadirkan Anggota Komisi DPR RI Rachel Maryam, sutradara ANggy Umbara, sineas muda alumnus STMM Riza Pahlevi, pengamat film Arul, Ketua STMM Noor Iza dan moderator Edi Giantoro.   

Arul sepakat bahwa pemerintah masih sangat kurang perannya. Pemerintah sepertinya tidak tahu kalau orang film berjalan sendiri.

“Tidak didanai, pitching sendiri. Saya jadi saksi justru malu. Mana pemerintah kita?” ungkap Arul

Dia mencontohkan karya bagus yang dibuat tanpa peran pemerintah. “Wage duitnya berasal dari pondok pesantren. Tapi bisa memberikan nilai yang luar biasa,” lanjutnya. 

Penerapan Penyiaran dalam Film

Menurut Riza Pahlevi, kesempatan penyiaran ke film sangat mungkin karena banyak kesamaan. Bahkan berdasarkan pengalamannya, penyiaran ini belajar banyak sekali program, termasuk film.

“Sebenarnya 11-12, sama-sama belajar audio dan visual,” katanya.

Hal yang penting kemudian adalah keputusan terhadap passion. Reza menceritakan pengalamannya yang pernah bekerja di radio dan televisi. Namun dia merasa bahwa pilihannya adalah  ke film (sutradara). Maka dia memutuskan keluar.

“Akhirnya saya bisa bikin film Makmum. Berawal iseng ke festival-festival, memperbanyak jaringan,” ujarnya. Makmum sendiri akhirnya diangkat dari film pendek ke layar lebar.    

Secara lingkungan, Riza di MMTC punya keuntungan karena bisa ketemu dengan teman-teman yang satu visi. Terlebih saat ini banyak media yang bisa digunakan untuk menyebarkan karya-karya seperti Youtube bahkan Tik-tok. “SIlahkan produktif, cari apa yang kalian suka. Dari sekarang mulailah berkarya. Sampai lima thun ke depan,” tutur Riza.  

Ketua STMM Noor Iza mengungkapkan ada potensi STMM memenuhi potensi kebutuhan saat ini. Antara lain, audio, video, jurnalistik, digital marketing. Termasuk keahlian soft skill seperti kemampuan komunikasi, membuat narasi, public speaking. Aspek-aspek keahlian ini sudah dimiliki STMM. Anggy Umbara, menekankan bahwa ide, pesan adalah yang paling utama dalam film. Teknologi dan modal film yang dinilai mahal dalam hal ini tetap bisa dicara alternatifnya. Maka penyampaian narasi film lewat karakter yang matang, konflik yang dramatis hingga punya karakter pembeda lebih berperan dalam penilaian bagus tidaknya film. Sementara itu Rachel menyatakan film sebenarnya bukan sekadar sebuah karya seni yang mengibur saja. Namun, film bisa menjadi alat pembentuk opini dan diplomasi. Oleh karena itu, film bisa menjadi sebuah kekuatan bagi masyarakat Indonesia. (Sony Way)